Saya mempunyai teman yang berpenampilan nyentrik,
rambut gondrong, pakaian cendrung kumal seenaknya. Ia memang pernah bergabung
dengan sebuah LSM di Yogyakarta.
Selama bekerja di LSM khususnya ia mengurus
“orang-orang pinggiran” seperti gelandangan, tukang becak, pemulung, dll. Ia
juga sempat berteman dengan sekolompok pencopet. Tak heran kalau para pencopet
senior di Yogyakarta, banyak yang mengenal dia. Gara-gara berteman dengan
pencopet, ia pernah menjadi penumpang istimewa dalam KA yang membawanya dari
Yogyakarta-Jakarta.
Ceritanya, ketika menuju Stasiun Tugu Yogyakarta, tanpa
sengaja ia berjumpa temannya, seorang pencopet, yang kebetulan duduk sederet.
Wajah si pencopet lebam dan ada sedikit luka bekas kena pukul saat ketahuan
mencopet. Mereka sempat mengobrol, sebelum kemudian si pencopet turun menjelang
kereta api berangkat.
Tanpa sepengetahuan teman saya, ternyata seorang
anggota Polsus KA sempat mengawasi saat mereka berbincang-bincang.
“Kamu teman pencopet itu ya ?” Tanya sang Polsus
tiba-tiba pada teman saya.
Tanpa curiga teman saya menjawab,”Ya, dia memang teman
saya.”
Karena kejujurannya itu, semalam ia diawasi (termasuk
tas dan perbekalannya) oleh seorang anggota Polsus yang duduk tepat di
belakangnya.
Lucunya, teman saya malah merasa beruntung. Ia merasa diperlakukan
istimewa karena mendapat pengawalan pribadi.
Ia memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan
santainya ia tidur, tanpa khawatir kecopetan. Bukankah ada sang pengawas ?
Ketika ia bangun esok pagi, si polisi tampak masih
berjaga-jaga di belakangnya dan pura-pura tidur. Ternyata pula, ia masih terus
diawasi sampai ia meninggalkan Stasiun Gambir, Jakarta.
“Boleh jadi si Polsus bangga karena berhasil mengawasi
saya sampai benar-benar tak berkutik. Tapi dia keliru, meski berteman dengan
pencopet, saya bukan pencopet!” ceritanya sambil tertawa mengenang
pengalamannya mendapat pengawalan istimewa.
*Simon Sudarman, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment