Keunikan berbahasa di Malang ternyata juga tidak hanya terjadi pada bahasa walikan. Bahasa yang digunakan masyarkat Malang juga sedikit “menyimpang” dari struktur Bahasa Jawa yang baku. Kalau Bahasa Jawa mengenal imbuhan no, dalam Bahasa Jawa dialek Malang imbuhan itu menjadi o. Misalnya, kata jupukno (ambilkan), dalam Bahasa Jawa-Malang menjadi jupuko. Gawekno (buatkan), menjadi gaweko.
Bahasa Jawa dialek Malang juga tidak mengenal imbuhan ne untuk kata yang berakhiran huruf hidup atau vocal. Contohnya, segone (nasinya) menjadi segoe, sepatune (sepatunya) menjadi sepatue. Bahasa Jawa-Malang tidak pula mengenal imbuhan e untuk kata yang berakhiran huruf mati. Misalnya omahe (rumahnya) menjadi omahne, rambute (rambutnya) menjadi rambutne.
Bahasa Jawa-Malang pun tidak mengenal peluluhan. Misalnya, sepaton (mengenakan sepatu) dalam Bahasa Jawa menjadi sepatuan dalam Bahasa Jawa-Malang. Klamben (mengenakan baju) menjadi klambian.
Bahasa Jawa dialek Malang juga tidak mengenal imbuhan ne untuk kata yang berakhiran huruf hidup atau vocal. Contohnya, segone (nasinya) menjadi segoe, sepatune (sepatunya) menjadi sepatue. Bahasa Jawa-Malang tidak pula mengenal imbuhan e untuk kata yang berakhiran huruf mati. Misalnya omahe (rumahnya) menjadi omahne, rambute (rambutnya) menjadi rambutne.
Bahasa Jawa-Malang pun tidak mengenal peluluhan. Misalnya, sepaton (mengenakan sepatu) dalam Bahasa Jawa menjadi sepatuan dalam Bahasa Jawa-Malang. Klamben (mengenakan baju) menjadi klambian.
Karena itu, kalau anak Malang asli diajari Bahasa Jawa, Bahasa Jawa-nya bukan menjadi bahasa kedua. Bisa jadi Bahasa Jawa itu menjadi bahasa asing, Bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah tidak sama dengan Bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari. Bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah itu menggunakan standar Bahasa Jawa Yogyakarta atau Solo.
No comments:
Post a Comment